Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa diri manusia pasti  telah digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang Mahabijaksana. Semua  telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali.  Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah  ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah  diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang  ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau  kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih,  berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan  menunggu takdir, dan berupaya memperbaiki citra diri.
Dengan  bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah swt.,  seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya,  dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah swt.  Ia akan berubah menjadi batu karang yang tegar menghadapi segala  gelombang kehidupan dan senantiasa sabar dalam menyongsong badai ujian  yang silih berganti. Ia juga selalu bersyukur apabila kenikmatan demi  kenikmatan berada dalam genggamannya. Perhatikan beberapa ayat Allah dan  hadits Rasul berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa  di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis  dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya  yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian  itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu,  dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya  kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi  membanggakan diri.” [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]
“Dan pada sisi  Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya  kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di  lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia  mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan  bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis  dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” [QS. Al-An’aam (6): 59]
“Tiada  seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau  di surga.” Salah seorang dari mereka berkata, “Bolehkah kami bertawakal  saja, ya, Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak, (akan tetapi)  beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal).” Kemudian  beliau membaca ayat ini, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di  jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik  (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan  adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan  pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan)  yang sukar [QS. Al-Lail (92): 5-10].” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali  bin Abi Thalib)
“Sangat mengherankan seorang mukmin itu, karena  semua urusannya mengandung kebaikan. Dan yang demikian itu tidak pernah  dimiliki seseorang kecuali orang mukmin; apabila ia diuji dengan  kenikmatan (kebahagiaan), ia bersyukur. Maka, inilah kebaikan baginya.  Dan apabila ia diuji dengan kemelaratan (kepayahan), ia bersabar. Maka,  inilah kebaikan baginya.” (HR Muslim dari Abu Yahya Shuhaib bin Shinan)
Definisi Qadha dan Qadar
Secara etimologi, qadha memiliki banyak pengertian, diantaranya sebagaimana berikut:
1.  Pemutusan, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “(Dia)  yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan sesuatu  perkara, hanya Dia mengatakan: Jdilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah (2):  117]
2. Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada firman  Allah, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah  selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan  sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya  sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah  kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu  membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang  mulia.”  [QS. Al-Israa` (17): 23]
3. Pemberitaan, bisa kita temukan dalam  ayat, “Dan  telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu  bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]
Imam  az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak.  Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna  kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir 4/78)
Adapun  qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran  yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah  berikut ini. “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh  di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar  makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai  jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” [QS. Fushshilat (41): 10]
Dari  sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah  ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya  suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).
Ibnu Hajar  berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli  (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar  adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.”  (Fathul-Baari 11/477)
Ada juga dari kalangan ulama yang  berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada  zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.
Sebenarnya,  qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak  mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara  keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka,  barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh  merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu  Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).
Dalil-dalil Qadha dan Qadar
Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang  mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya.  Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid.  Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka  tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan  mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa  Syeikh Al-Islam, 8/258).
Oleh karena itu, iman kepada qadha dan  qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang harus dilakukan setiap  muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini.
Hadits  Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah  saw. ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman  kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu  beriman kepada qadar baik maupun buruk.” (HR. Muslim)
“Sekiranya  Allah swt. menyiksa penduduk langit dan bumi, maka Dia sungguh  melakukannya tanpa menzalimi mereka. Dan sekiranya Dia mengasihi mereka,  maka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka. Dan sekiranya kamu  memiliki emas seperti Gunung Uhud atau semisalnya, lalu kamu infakkan di  jalan Allah, maka Dia tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman  terhadap qadar dan kamu mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu  tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bagianmu tidak  akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika kamu mati atas (aqidah) selain  ini, maka niscaya kamu masuk neraka.” (HR. Ahmad, dari Zaid bin Tsabit)
Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan qadha dan qadar-Nya berikut ini.
“Tiada  suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu  sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum  Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi  Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita  terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu  gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak  menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS.  Al-Hadiid (57): 22-23]
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [QS. Al-Qamar (54): 49]
“(Yaitu  di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka  berada di pinggir lembah yang jauh, sedangkan kafilah itu berada di  bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari  pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari  pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar  Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang  yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang  yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Anfaal  (8): 42]
“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang  telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian)  sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah  ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” [QS. Al-Ahzab  (33): 38]
“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi  Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya,  ‘Tulislah…,’ Ia bertanya, ‘Apa yang saya tulis?’ Dia berfirman, ‘Maka ia  pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR  Ahmad)
“Tiada seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis  tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata,  ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab,  ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam  beramal),’ kemudian beliau membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang  memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya  pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya  jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya  cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan  menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.’” (HR Bukhari dan Muslim, dari  Ali bin Abi Thalib)
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di  jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik  (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan  adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta  mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya   (jalan) yang sukar.” [QS. Al-Lail (92): 5-10]
Rukun-rukun Iman Kepada Qadha Dan Qadar
Beriman  kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun  ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap  mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga  kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak tangga  tersebut.
Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.
Pertama,  Ilmu Allah swt. Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus beriman  kepda Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia  mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit  dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh  makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan  hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di masa yang  akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.  Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.
Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah berikut ini.
“Allah-lah  yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah  berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas  segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi  segala sesuatu.” [QS. Ath-Thalaaq (65): 12]
“Dialah Allah Yang  tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata,  Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-Hasyr (59): 22]
“Dan  pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang  mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di  daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan  Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam  kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan  tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” [QS. Al-An’aam (6):  59]
“Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika menciptakan mereka.” (HR Muslim)
Kedua,  Penulisan Takdir. Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah swt. menulis  dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan  kehidupan manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh  Mahfuzh—“buku catatan amal” yang dijaga. Tidak ada suatu apa pun yang  terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
“Tiada  suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu  sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum  Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi  Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita  terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu  gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak  menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS.  Al-Hadiid (57): 22-23]
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa  sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi;  bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh).  Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hajj  (22): 70]
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan  burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga)  seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian  kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” [QS. Al-An’aam (6): 38]
“Yang  pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah  pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah….” Ia  bertanya, ‘Apa yang aku tulis?’ Dia berfirman, maka ia pun menulis apa  yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR. Ahmad)
Ketiga,  Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang  mukmin yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah  (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia  kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu  pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi  meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan  Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah  berfirman,
“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik  di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha  Kuasa.” [QS. Faathir (35): 44]
Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur`an, di antaranya sebagai berikut.
“Dan  kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila  dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” [QS. At-Takwiir (81): 29]
“Dan  orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan  berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah  (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki  Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di  atas jalan yang lurus.” [QS. Al-An’aam (6): 39]
“Sesungguhnya  keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya,  ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” [QS. Yaasiin (36): 82]
“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih (memahami) agama ini.” (HR. Bukhari)
Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.
“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak
Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada
Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui
Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta
Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan
Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)
Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung
Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik
Keempat,  Penciptaan-Nya. Ketika beriman terhadap qadha dan qadar, seorang mukmin  harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada  Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal  ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” [QS. Az-Zumar (39): 62]
“Yang  kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai  anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah  menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan  serapi-rapinya.” [QS. Al-Furqaan (25): 2]
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat Itu.“ [QS. Ash-Shaaffat (37): 96]
“Sesungguhnya, Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.” (HR. Hakim)
Inilah  empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini setiap  muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau  didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai gerbang keimanan yang  sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat rukun tersebut  berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan ketika  bangunan iman terhadap qadar rusak, maka juga akan menimbulkan kerusakan  pada bangunan tauhid itu sendiri.
Macam-macam Takdir
Takdir  ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan  pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala  sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama,  Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam  lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat  Allah swt. memerintahkan Al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu  yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini  berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang  menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah  tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.  Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hadiid  (57): 22]
“Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk  sejak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau  bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.” (HR. Muslim)
Kedua,  Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal  penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan  bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan  kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini.
“…Kemudian  Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan  ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau  bahagia….” (HR. Bukhari)
Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [QS. Ad-Dukhaan (44): 4-5]
Ahli  tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang  akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal,  dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam  setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.
Keempat,  Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang  akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki,  menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan  lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Semua yang ada di  langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam  kesibukan.” [QS. Ar-Rahmaan (55): 29]
Ketiga takdir yang terakhir  tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan dan  ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.
Berdalih dengan Qadar dalam Kemaksiatan dan Musibah
Semua  yang ditakdirkan oleh Allah swt. selalu tersirat hikmah dan maslahat  bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang telah diketahui oleh-Nya. Maka,  Dia tidak pernah menciptakan kejelekan dan keburukan murni yang tidak  pernah melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan keburukan ini tidak  boleh dinisbatkan kepada Allah swt., melainkan dinisbatkan kepada amal  perbuatan manusia. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dinisbatkan kepada  Allah mengandung keadilan, hikmah, dan rahmat .
Hal ini  berdasarkan firman Allah swt., “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah  dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan)  dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia.  Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” [QS. An-Nisaa` (4): 79]
Maksudnya,  segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari Allah  SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan  kemaksiatannya.
Allah membenci kekufuran dan kemaksiatan yang  dilakukan hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, Dia mencintai dan meridhai  ketakwaan dan kesalehan. Dia juga menunjukkan dua jalan untuk  hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan akal untuk memilih salah  satu jalan tersebut sesuai pilihan dan kehendaknya. Maka, barangsiapa  yang memilih jalan kebaikan ia berhak mendapat ganjaran dan yang memilih  jalan keburukan atau kebatilan maka ia berhak mendapat siksa oleh  karena hal ini dilakukan secara sadar dan atas pilihannya sendiri tanpa  ada unsur paksaan. Meskipun sebab-sebab dan factor-faktor pendorong amal  perbuatannya tidak lepas dari kehendak Allah swt.
Maka, tidak ada  alasan dan hujjah lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran dan  kemaksiantan yang dilakukannya karena takdir Allah swt. Oleh karena itu,  Allah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi-at Allah  atas kekufuran mereka seperti dalam firmanNya;
“Orang-orang yang  mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya  kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula)  kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang-orang  sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan  siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan  sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti  kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.  Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia  menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” [QS.  Al-An’aam (6): 148-149]
“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika  Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun  selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami  mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.’ Demikianlah yang diperbuat  orang-orang sebelum mereka, maka tidak ada kewajiban atas para rasul,  selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Tiap-tiap umat  mempunyai rasul yang diutus untuk menerangkan kebenaran.” [QS. An-Nahl  (16): 35]
Adapun berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpa  manusia dapat dibenarkan Islam. Sebagaimana dialog yang terjadi antara  Nabi Adam dan Nabi Musa tentang musibah dikeluarkannya Bani Adam dari  surga.
“Adam dan Musa berbantah-bantahan. Musa berkata, ‘Wahai,  Adam, Anda adalah bapak kami yang telah mengecewakan dan mengeluarkan  kami dari surga. Lalu Adam menjawab, ‘Kamu, wahai Musa yang telah  dipilih Allah dengan Kalam-Nya dan menuliskan untkmu dengan Tangan-Nya,  apakah kamu mencela kepadamu atas suatu perkara yang mana Allah telah  menakdirkan kepadaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka  Nabi bersabda, ‘Maka, Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah  Musa.’” (HR. Muslim)
Buah Iman Kepada Qadar
Muslim  yang meyakini akan qadha dan qadar Allah swt. secara benar akan  melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah  frustrasi atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia  tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di  genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi  setiap permasalahan hidup.
Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab “Al-Qadha wa Al-Qadar” menyimpulkan buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.
Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan.
Kedua,  tetap istiqamah. “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah  lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila  ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang  mengerjakan shalat.” [QS. Al-Ma’arij (70): 19-22]
Ketiga, selalu  berhati-hati. “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang  tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali  orang-orang yang merugi.”  [QS. Al-A’raaf (7): 99]
Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan