.::*"WELCOME TO MY BLOG, SORRY MY BLOG IF LESS WELL, NEVER BORED TO VISIT MY BLOG AND THANKS FOR VISITING"*::.

Selasa, 13 November 2012

Perjuangan untuk menempuh kemerdekaan melalui Surat Kabar

Pergerakan kebangsaan setelah tahun 1908 memberikan corak yang berbeda dengan sebelumnya. Pergerakan yang ada berupa pergerakan intelektual yang berbasis organisasi dan juga penggunaan media masa sebagai corong pergerakan yang dilakukan organisasi pemilik media massa. Perjuangan mencapai kemerdekaan tidak dapat lagi hanya sekedar perlawanan fisik tetapi juga harus dengan wacana pemikiran dan pengaruh.
Perkembangan pers masa pergerakan tahun 1908 sampai dengan tahun kemerdekaan tahun 1945 penuh dengan gejolak dan perkembangan bahasa Melayu yang akan menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.
Perkembangan media masa berbahasa daerah atau Melayu, yang dinilai oleh Douwes Dekker menduduki tempat yang lebih penting daripada pers Eropa, terutama setelah berdirinya organisasi seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam dan Indische Partij yang menimbulkan pemikiran di kalangan pemerintah Hindia Belanda untuk menetralisasi pengaruh pers Bumiputera itu. Pemerintah Hindia Belanda berupaya untuk menekan pengaruh pegerakan yang diusung dengan bertumbuhannya pers pergerakan yang dimiliki oleh Bumiputra dengan jalan yang ditunjukkan Dr. Rinkes ialah dengan mendirikan suratkabar berbahasa Melayu oleh pemerintah Belanda sendiri serta memberikan bantuan kepada surat kabar yang dinilai lunak dalam pemberitaannya.
Berdirinya Boedi Oetomo di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908 dan persiapan-persiapan kongresnya yang pertama, yang akan diadakan pada awal oktober tahun itu juga mendapat tempat dalam pers Belanda dan Melayu. Surat edarannya pun dimuat dalam suratkabar De Locomotief dan Bataviaasch Nieuwsblad, demikian juga dalam majalah Jong Indie. Memang sejak kelahirannya, organisasi pertama ini memperhatikan pentingnya penerbitan dan suratkabar sebagai penyambung suara organisasi. Sesuai dengan sikap Boedi Oetomo pada awal pertumbuhannya sejak golongan tua menjadi pemimpin-pemimpinnya, maka suratkabarnya pun bercorak lunak, namun satu segi yang menarik ialah kesadaran redakturnya menulis dan memberitakan yang penting bagi kemajuan dan kesejahteraan. Pentingnya surat kabar berbahasa Melayu terbukti juga dari ikhtisar-ikhtisar yang muncul dalam majalah dan suratkabar Belanda, seperti Tropisch Nederland, Kolonial Tijdschrift dan Java Bode.
Semenjak berdirinya Sarekat Islam, Nampak adanya penerbitan baru suratkabar, diantaranya ada yang menonjol dan ada pula yang kurang berarti. Juga beberapa terbit di luar pulau Jawa. Mula-mula Darmo Kondo merupakan suratkabar yang utama di Jawa, tetapi setelah berdirinya SI, di Surabaya terbit Oetusuan Hindia yang isinya lebih hidup dan kuat condong “ke kiri”. Darmo Kondo sendiri tetap tenang dan kurang menunjukan kepekaannya mengenai tanda-tanda zaman, meskipun lingkungan pembacanya cukup besar. Darmo Kondo sebelum tahun 1910 dimiliki dan dicetak oleh seorang keturunan Cina, Tan Tjoe Kwan dan redaksi ada ditangan Tjhie Siang Ling, yang diketahui mahir di dalam soal sastra Jawa. Sejak itu dibeli oleh Boedi Oetomo cabang Surakarta dengan modal f.50.000,-
Oetusan Hindia lahir setelah SI mengadakan kongresnya yang pertama di Surabaya, 26 Januari 1913 di bawah pimpinan Tjokroaminoto, Sosrobroto serta Tirtodanudjo. Tirtodanudjo merupakan penulis yang tajam menarik perhatian umum, demikian juga karangan seorang bernama Samsi dari Semarang. Kedua-duanya merupakan pemegang rekor delik pers dan seringkali berurusan dengan pihak pengadilan. Tjokroaminoto sendiri mengimbangi dengan tulisan-tulisan yang tinggi mutunya dengan nada yang tenang, juga bila dia menulis untuk menangkis serangan-serangan yang ditujukan kepadanya. Selama tiga belas tahun Oetusan Hindia isinya mencerminkan dunia pergerakan, politik, ekonomi dan perburuhan, khusus yang dipimpin oleh Central Sarekat Islam. Karangan para pemimpin Indonesia lainnya muncul dan mengisi suratkabar itu serta merupakan perhatian pembaca. Singkatan nama-nama mereka O.S. Tj. (Oemar Said Tjokroaminoto), A.M. (Abdul Muis). H.A.S. (Haji Agus Salim), Tj.MK. (Tjipto Mangunkusumo), A.P. (Alimin Prawirohardjo), A.H.W. (Wignjadisastra) dan Surjopranoto silih berganti mengisi suratkabar itu, yang pengaruhnya sering Nampak di suratkabar yang terbit di kepulauan lain.
Namun kelemahan suratkabar bumiputra ialah kurangnya pemasang iklan, sehingga dengan uang langganan saja tidak cukup untuk dapat bertahan. Ditambah lagi banyak perkara SI mengurangi ketekunan pengurusnya untuk tetap memikirkan kelangsungan suratkabarnya, dan setelah Tjokroaminoto terkena perkara politik sehingga ia dijatuhi hukuman dan perpecahan di dalam tubuh SI sendiri tak terhindarkan lagi, maka Oetusan Hindia tutup usia pada triwulan pertama tahun 1923.
Surat kabar SI lainnya ialah Sinar Djawa di Semarang, Pantjaran Warta di Betawi dan Saroetomo di Surakarta. Yang terakhir itu adalah suratkabar “asli” Sarekat Islam sejak kelahiran organisasi itu pada bulan Agustus 1912. Mula-mula Saroetomo merupakan suratkabar yang kurang berarti, tetapi berangsur-angsur Nampak pengaruh Oetusan Hindia, sehingga makin bermutu. Terutama dengan muncul Mas Marco Dikromo, seorang berasal dari Bodjonegoro, yang waktu itu baru berumur 23 tahun, maka karangan-karangannya mewakili gaya tulis tersendiri. Terkenal dalam hubungan ini ialah komentar Mas Marco mengenai cara kerja Mindere Welvaarts Commissie (Komisi untuk menyelidiki sebab-sebab kemunduran kemakmuran rakyat bumiputra), sehingga menimbulkan heboh besar. Setelah tulisan-tulisannya mendapat halangan didalam Saroetomo, terutama karena campur tangan pemerintah, maka ia mendirikan suratkabar sendiri bernama Donie Bergerak. Meskipun surat kabar itu disebutkan sebagai usaha sendiri dari Inlandsche Journalisten Bond (Perserikatan Jurnalis Bumiputra), namun pihak pemerintah sendiri menduga , bahwa kelangsungan suratkabar itu terutama karena mendapat bantuan dari bekas pendukung Indische Partij serta diduga Suwardi Suryaningrat yang sedang dibuang ke Nederland sering pula menulis di situ.
Tjahaja Timoer di Malang dan juga Kaoem Moeda di Bandung, masing-masing dengan redaktur Raden Djojosoediro dan Abdul Muis menunjukan kecondongannya kepada Indische Partij dan makin lama makin baik mutunya. Tentang Indische Partij, meskipun partai itu pendek usianya, tetapi usaha penerbitan dari pendirinya, yaitu berupa majalah dua mingguan Het Tijdschrift dan surat kabar De Express, penting artinya dalam rangkaian perkembangan pers nasionalis. Majalah itu merupakan persiapan terbitnya suratkabar harian yang terbit untuk pertama kali pada tanggal 1 Maret 1912, yaitu De Expres, jadi beberapa bulan sebelum Indische Partij resmi berdiri pada tanggal 12 Desember 1912. Baik di dalam Het Tijdschrift maupun De Expres terdapat karangan-karangan Douwess Dekker, yang dengan kemahiran pena, kecerdasan otak dan semangatnya serta tujuan politiknya membuat kedua media pers itu merupakan contoh dari beberapa surat kabar bumiputra. Perjalanan propagandanya pun mendapatkan tempat di dalam surat kabar itu,yang sudah barang tentu diikuti dengan seksama oleh para pemimpin pergerakan yang pandai membaca dalam bahasa Belanda, namun isinya, terutama yang berhubungan dengan masa depan Hindia Belanda, jelas merupakan pokok-pokok pikiran yang ternyata kemudian merupakan landasan kesatuan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karangan-karangan Dr. Tjipto Mangunkusumo di dalam Het Tijdschrift dianggap bernilai tinggi dan mampu membawa pemikiran yang kritis, tenang dan terarah para pembacanya.
Setelah pembuangan ketiga pemimpin Indische Partij ke Nederland, maka dua diantara mereka masih dapat menerbitkan dua majalah dalam bahasa Belanda. Tjipto Mangunkusumo dengan majalah De Indier (1913-1914) dan R.M. Suwardi Suryaningrat dengan majalah Hindia Poetra (1916) berhasil dalam mempertahankan arah perjuangan mereka.
Abdul Muis umpamanya menaruh minat kepada Hindia Poetra dan mengusulkan agar terbit juga dalam bahasa Melayu (baca bahasa Indonesia), agar isinya dapat sampai ke pembaca bumiputra. Lahirnya PKI pada tahun 1920 menambah jumlah suratkabar partai. Terutama setelah partai itu menjalankan agitasi dan propaganda untuk membangkitkan kegelisahan social, maka pengaruhnya menjalar sampai ke tingkat local di seluruh pelosok tanah air. Golongan masyarakat yang selama itu terisolasi dari bacaan, kini mulai mendengar dan melihat media yang tidak sepenuhnya dipahami itu. Lambat laun kelihatan juga pengaruh pers local yang dikendalikan oleh PKI.
Terutama bertalian dengan penerbitan Islam, maka seorang penulis mencatat pada tahun 1925: “Sejalan dengan kebangunan itu, maka seperti terjadi ditempat-tempat lain, pers berada dimana-mana, menunjukan daya-usaha, waspada dan berpengaruh pada bidang kehidupan lain”.
Dihubungkan dengan jumlah penduduk, Indonesia pada waktu itu (1920) mempunyai 50 juta penduduk. Di jawa dan Madura terdapat 35.017.204 penduduk, Sumatra lebih dari 5.800.000 dan sisanya tersebar di kepulauan lain. Di Jawa saja terdapat 39.000 penduduk Bumiputra yang telah beragama Kristen, orang Eropa ada 135.214 dan orang Cina 386.112.
Rapat Zendings Bond di Yogya pada akhir Agustus 1922, memperkirakan jumlah penduduk Jawa yang pandai membaca bahasa Melayu kurang lebih 1.000.000, yaitu setengah juta dapat membaca bahasa Jawa, 400.000 membaca bahasa Jawa dan 200.000 bahasa Sunda. Huruf Latin telah mulai dikenal dan menggantikan huruf Jawi dan Jawa dalam percetakan buku dan majalah. Bahasa Belanda lebih dikenal oleh penduduk Jawa yang telah berpendidikan.
Mengalirnya buku-buku berbahasa Arab dan Mesir ke Sumatra Barat saja, pada tahun 1916 berharga fl. 10.000. banyak buku standard, seperti dari Al-Ghazali, dijual dalam dua bahasa, Jawa – Arab, Melayu – Arab , Sunda – Arab dan seterusnya. Penyebaran buku-buku Islam terbukti juga dari terdapatnya kios-kios buku di banyak stasiun kereta api yang memperjual belikan itu. Suratkabar merupakan saksi hidup tumbuhnya banyak organisasi, baik yang berdasarkan agama, nasional, social maupun ekonomi. Kegiatan penerbitan Islam terbukti juga berorientasi luas, ternyata dari dari adanya iklan menawarkan majalah dalam bahasa Perancis Echos de I’Islam (Paris) dan bahasa Inggris The Muslim Standard (London). Mas Marco diketahui juga membuat risalah Pan Islamisme bahasa Melajoe. Cara pengiklanan yang khas ditempuh oleh penerbit Islam Mardi Kantaka di Surakarta, dengan menempatkan daftar buku di belakang amplop untuk mengirimkan surat-surat, dimana terbukti juga terdapatnya kepustakaan dalam bahasa asing.
Perdagangan buku Islam terutama berpusat di Surabaya dan Batavia. Namun terdapat juga di tempat ziarah seperti Gresik dan Demak, bahkan di kota kecil seperti Blora dijajakan buku cetakan India dengan penjual dari Bombay. Seorang pengamat juga melihat adanya buku-buku agama cetakan dari Istambul, Beirut, Mekah, bahkan dari Kazan (Rusia) yang diperdagangkan di pelbagai kota lain.
Menurut daftar yang dibuat oleh B. Schrieke, penasehat pemerintah urusan Bumiputra, maka dari 107 suratkabar dan majalah, yang terbit sekitar tahun 1920 corak suratkabar/majalah digolongkan menjadi nasional, liberal,radikal dan komunitis. Ada juga yang bercorak netral, politik dan perdagangan. Judul-judulnya pun menarik perhatian, banyak yang memakai kata “sinar”,”Jong”,”kebangoenan”,”baroe” dan sebagainya.
Dari jumlah 16 buah diterbitkan di Weltevreden – Batavia, 10 buah masing-masing di Semarang, Surabaya dan Medan. Dengan adanya surat kabar Islam, yang beraneka ragam dan jumlah berada di tengah-tengah masa depresi dan krisis umum di dalam dunia persuratkabaran, merupakan pertanda bahwa Islam telah bangun.
Suatu usaha untuk mengimbangi keadaan itu ialah usaha pemerintah Hindia Belanda, untuk mengedarkan buku-buku netral (Golsdienstloos) sebanyak satu juta buku setahunnya,.Adanya penerbitan itu menunjukan, bahwa di Indonesia itu sedang terjadi suatu evolusi yang bergerak cepat.
Dalam perjuangan mendatang untuk lebih banyak “cahaya” lebih banyak kebebasan, untuk hidup lebih makmur, pers berada dimuka sebagai pusat perhatian dan sebagai pelopor. Media pers yang membawakan suara nasionalisme Indonesia ialah majalahnya para mahasiswa di Nederland, yang melantingkan kata Indonesia dalam kata pengantar nomor pertama Indonesia Merdeka (IM) pada tahun 1924.
Corak IM dengan keterangan-keterangannya merupakan aksi untuk mencapai tujuan PI, terutama untuk memperkuat cita-cita kesatuan Bangsa Indonesia. Majalah itu terbit dalam dua bahasa , bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Terbitan bahasa Indonesianya hanya lima nomor, kemudian terenti. Redaksi dipegang oleh pimpinan PI para pengarangnya tidak dicantumkan,karena setelah dirundingkan dengan anggota pimpinan, maka karangan yang dimuat itu merupakan pendapat PI.
Dari berkas laporan pejabat pemerintah Belanda, setelah terjadi penggeledahan dan penyitaan dokumen-dokumen PI ternyata bahwa Indonesia Merdeka mencatat 280 langganan.
Penyebarannya dilakukan secara rahasia dan sebagai penyebarnya ialah Sudjadi, yang diangkat sebagai propagandis PI di Jakarta. Dengan segala cara ia berhasil menyebarkan IM kepada para langganan dan penganut gagasan PI. Dari sistem kartu langganan yang disita dari arsip PI itu ternyata angka-angka seperti tersebut diatas, suatu data yang langka mengenai jumlah dan penyebaran langganan suatu majalah.
Yang menyebabkan makin meluasnya paham PI sudah barang tentu ialah majalah dan suratkabar yang dimiliki oleh pergerakan nasional. Demikianlah meskipun PI secara resmi tidak mempunyai cabang di Indonesia,namun melalui Sudjadi sebagai unsure “unsure kerja” di Indonesia dan bekas anggota-anggota PI di beberapa kota, maka mata-rantai gagasan nasionalisme Indonesia dan aksi-aksi untuk mencapai Indonesia Merdeka terdapat pula di Indonesia.
Kelompok-kelompok setempat bekas anggota PI dengan koordinasi komite pusat yang terdiri dari Mr. Sartono, Iskaq, Sunario, Budiarto dan Sudjadi mempersiapkan suatu kongres nasional. Kongres nasional itu merupakan persiapan kearah terbentuknya sebuah partai kerakyatan, yang didasarkan atas azas-azas nasionalistis yang murni, yang akan bernama Sarekat Rakyat Nasional Indonesia.
Pemberontakan PKI 1926-27 dan larangan kepada PKI sedikit menghambat persiapan pembentukan partai baru itu, tetapi pada bulan April telah diadakan rapat-rapat dan pada tanggal 4 Juli 1927 berdirilah PNI. Dari enam orang pendirinya, empat orang adalah bekas anggota Perhimpunan Indonesia.
Referensi : - Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, "Sejarah Nasional Indonesia", Balai Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar