Pergerakan kebangsaan setelah tahun 1908 memberikan
corak yang berbeda dengan sebelumnya. Pergerakan yang ada berupa
pergerakan intelektual yang berbasis organisasi dan juga penggunaan
media masa sebagai corong pergerakan yang dilakukan organisasi pemilik
media massa. Perjuangan mencapai kemerdekaan tidak dapat
lagi hanya sekedar perlawanan fisik tetapi juga harus dengan wacana
pemikiran dan pengaruh.
Perkembangan pers masa
pergerakan tahun 1908 sampai dengan tahun kemerdekaan tahun 1945 penuh
dengan gejolak dan perkembangan bahasa Melayu yang akan menjadi cikal
bakal bahasa Indonesia.
Perkembangan media
masa berbahasa daerah atau Melayu, yang dinilai oleh Douwes Dekker
menduduki tempat yang lebih penting daripada pers Eropa, terutama
setelah berdirinya organisasi seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam dan
Indische Partij yang menimbulkan pemikiran di kalangan pemerintah Hindia
Belanda untuk menetralisasi pengaruh pers Bumiputera itu. Pemerintah
Hindia Belanda berupaya untuk menekan pengaruh pegerakan yang diusung
dengan bertumbuhannya pers pergerakan yang dimiliki oleh Bumiputra
dengan jalan yang ditunjukkan Dr. Rinkes ialah dengan mendirikan
suratkabar berbahasa Melayu oleh pemerintah Belanda sendiri serta
memberikan bantuan kepada surat kabar yang dinilai lunak dalam
pemberitaannya.
Berdirinya Boedi Oetomo di Jakarta pada tanggal
20 Mei 1908 dan persiapan-persiapan kongresnya yang pertama, yang akan
diadakan pada awal oktober tahun itu juga mendapat tempat dalam pers
Belanda dan Melayu. Surat edarannya pun dimuat dalam suratkabar De
Locomotief dan Bataviaasch Nieuwsblad, demikian juga dalam majalah Jong
Indie. Memang sejak kelahirannya, organisasi pertama ini memperhatikan
pentingnya penerbitan dan suratkabar sebagai penyambung suara
organisasi. Sesuai dengan sikap Boedi Oetomo pada awal pertumbuhannya
sejak golongan tua menjadi pemimpin-pemimpinnya, maka suratkabarnya pun
bercorak lunak, namun satu segi yang menarik ialah kesadaran redakturnya
menulis dan memberitakan yang penting bagi kemajuan dan kesejahteraan.
Pentingnya surat kabar berbahasa Melayu terbukti juga dari
ikhtisar-ikhtisar yang muncul dalam majalah dan suratkabar Belanda,
seperti Tropisch Nederland, Kolonial Tijdschrift dan Java Bode.
Semenjak
berdirinya Sarekat Islam, Nampak adanya penerbitan baru suratkabar,
diantaranya ada yang menonjol dan ada pula yang kurang berarti. Juga
beberapa terbit di luar pulau Jawa. Mula-mula Darmo Kondo merupakan
suratkabar yang utama di Jawa, tetapi setelah berdirinya
SI, di Surabaya terbit Oetusuan Hindia yang isinya lebih hidup dan kuat
condong “ke kiri”. Darmo Kondo sendiri tetap tenang dan kurang
menunjukan kepekaannya mengenai tanda-tanda zaman, meskipun lingkungan
pembacanya cukup besar. Darmo Kondo sebelum tahun 1910 dimiliki dan
dicetak oleh seorang keturunan Cina, Tan Tjoe Kwan dan redaksi ada
ditangan Tjhie Siang Ling, yang diketahui mahir di dalam soal sastra
Jawa. Sejak itu dibeli oleh Boedi Oetomo cabang Surakarta dengan modal
f.50.000,-
Oetusan Hindia lahir setelah SI
mengadakan kongresnya yang pertama di Surabaya, 26 Januari 1913 di bawah
pimpinan Tjokroaminoto, Sosrobroto serta Tirtodanudjo. Tirtodanudjo
merupakan penulis yang tajam menarik perhatian umum, demikian juga
karangan seorang bernama Samsi dari Semarang. Kedua-duanya merupakan
pemegang rekor delik pers dan seringkali berurusan dengan pihak pengadilan. Tjokroaminoto sendiri mengimbangi dengan tulisan-tulisan yang tinggi mutunya dengan nada yang tenang, juga bila dia menulis untuk menangkis serangan-serangan yang ditujukan kepadanya. Selama tiga belas tahun Oetusan Hindia isinya mencerminkan dunia
pergerakan, politik, ekonomi dan perburuhan, khusus yang dipimpin oleh
Central Sarekat Islam. Karangan para pemimpin Indonesia lainnya muncul
dan mengisi suratkabar itu serta merupakan perhatian pembaca. Singkatan
nama-nama mereka O.S. Tj. (Oemar Said Tjokroaminoto), A.M. (Abdul Muis).
H.A.S. (Haji Agus Salim), Tj.MK. (Tjipto Mangunkusumo), A.P. (Alimin
Prawirohardjo), A.H.W. (Wignjadisastra) dan Surjopranoto silih berganti
mengisi suratkabar itu, yang pengaruhnya sering Nampak di suratkabar yang terbit di kepulauan lain.
Namun
kelemahan suratkabar bumiputra ialah kurangnya pemasang iklan, sehingga
dengan uang langganan saja tidak cukup untuk dapat bertahan. Ditambah
lagi banyak perkara SI mengurangi ketekunan pengurusnya untuk tetap
memikirkan kelangsungan suratkabarnya, dan setelah Tjokroaminoto terkena
perkara politik sehingga ia dijatuhi hukuman dan perpecahan di dalam tubuh SI sendiri tak terhindarkan lagi, maka Oetusan Hindia tutup usia pada triwulan pertama tahun 1923.
Surat
kabar SI lainnya ialah Sinar Djawa di Semarang, Pantjaran Warta di
Betawi dan Saroetomo di Surakarta. Yang terakhir itu adalah suratkabar
“asli” Sarekat Islam sejak kelahiran organisasi itu pada bulan Agustus
1912. Mula-mula Saroetomo merupakan suratkabar yang kurang berarti, tetapi berangsur-angsur Nampak pengaruh Oetusan Hindia, sehingga makin bermutu. Terutama dengan muncul Mas
Marco Dikromo, seorang berasal dari Bodjonegoro, yang waktu itu baru
berumur 23 tahun, maka karangan-karangannya mewakili gaya tulis
tersendiri. Terkenal dalam hubungan ini ialah komentar Mas Marco
mengenai cara kerja Mindere Welvaarts Commissie (Komisi untuk
menyelidiki sebab-sebab kemunduran kemakmuran rakyat bumiputra),
sehingga menimbulkan heboh besar. Setelah tulisan-tulisannya mendapat
halangan didalam Saroetomo, terutama karena campur tangan pemerintah,
maka ia mendirikan suratkabar sendiri bernama Donie Bergerak. Meskipun
surat kabar itu disebutkan sebagai usaha sendiri dari Inlandsche
Journalisten Bond (Perserikatan Jurnalis Bumiputra), namun pihak pemerintah sendiri menduga , bahwa kelangsungan suratkabar itu terutama karena mendapat bantuan dari bekas pendukung Indische Partij serta diduga Suwardi Suryaningrat yang sedang dibuang ke Nederland sering pula menulis di situ.
Tjahaja Timoer di Malang dan juga Kaoem Moeda di Bandung, masing-masing dengan redaktur Raden Djojosoediro
dan Abdul Muis menunjukan kecondongannya kepada Indische Partij dan
makin lama makin baik mutunya. Tentang Indische Partij, meskipun partai itu pendek usianya, tetapi usaha penerbitan dari pendirinya, yaitu berupa majalah dua mingguan Het Tijdschrift dan surat kabar De Express, penting artinya dalam rangkaian perkembangan pers
nasionalis. Majalah itu merupakan persiapan terbitnya suratkabar harian
yang terbit untuk pertama kali pada tanggal 1 Maret 1912, yaitu De
Expres, jadi beberapa bulan sebelum Indische Partij resmi berdiri pada tanggal 12 Desember 1912. Baik di dalam Het Tijdschrift maupun De Expres terdapat karangan-karangan Douwess Dekker, yang dengan kemahiran pena, kecerdasan otak dan semangatnya serta tujuan politiknya membuat kedua media pers itu merupakan contoh dari
beberapa surat kabar bumiputra. Perjalanan propagandanya pun
mendapatkan tempat di dalam surat kabar itu,yang sudah barang tentu
diikuti dengan seksama oleh para pemimpin pergerakan yang pandai membaca dalam bahasa Belanda, namun isinya, terutama yang berhubungan dengan masa depan Hindia Belanda, jelas merupakan pokok-pokok pikiran yang ternyata kemudian merupakan landasan kesatuan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karangan-karangan Dr. Tjipto Mangunkusumo di dalam Het Tijdschrift dianggap bernilai tinggi dan mampu membawa pemikiran yang kritis, tenang dan terarah para pembacanya.
Setelah
pembuangan ketiga pemimpin Indische Partij ke Nederland, maka dua
diantara mereka masih dapat menerbitkan dua majalah dalam bahasa
Belanda. Tjipto Mangunkusumo dengan majalah De Indier (1913-1914) dan
R.M. Suwardi Suryaningrat dengan majalah Hindia Poetra (1916) berhasil dalam mempertahankan arah perjuangan mereka.
Abdul
Muis umpamanya menaruh minat kepada Hindia Poetra dan mengusulkan agar
terbit juga dalam bahasa Melayu (baca bahasa Indonesia), agar isinya
dapat sampai ke pembaca bumiputra. Lahirnya PKI pada tahun 1920 menambah
jumlah suratkabar partai. Terutama setelah partai itu menjalankan agitasi
dan propaganda untuk membangkitkan kegelisahan social, maka pengaruhnya
menjalar sampai ke tingkat local di seluruh pelosok tanah air. Golongan masyarakat
yang selama itu terisolasi dari bacaan, kini mulai mendengar dan
melihat media yang tidak sepenuhnya dipahami itu. Lambat laun kelihatan
juga pengaruh pers local yang dikendalikan oleh PKI.
Terutama
bertalian dengan penerbitan Islam, maka seorang penulis mencatat pada
tahun 1925: “Sejalan dengan kebangunan itu, maka seperti terjadi ditempat-tempat lain, pers berada dimana-mana, menunjukan daya-usaha, waspada dan berpengaruh pada bidang kehidupan lain”.
Dihubungkan
dengan jumlah penduduk, Indonesia pada waktu itu (1920) mempunyai 50
juta penduduk. Di jawa dan Madura terdapat 35.017.204 penduduk, Sumatra
lebih dari 5.800.000 dan sisanya tersebar di kepulauan lain. Di Jawa
saja terdapat 39.000 penduduk Bumiputra yang telah beragama Kristen, orang Eropa ada 135.214 dan orang Cina 386.112.
Rapat
Zendings Bond di Yogya pada akhir Agustus 1922, memperkirakan jumlah
penduduk Jawa yang pandai membaca bahasa Melayu kurang lebih 1.000.000,
yaitu setengah juta dapat membaca bahasa Jawa, 400.000 membaca bahasa
Jawa dan 200.000 bahasa Sunda. Huruf Latin telah mulai dikenal dan
menggantikan huruf Jawi dan Jawa dalam percetakan buku dan majalah. Bahasa Belanda lebih dikenal oleh penduduk Jawa yang telah berpendidikan.
Mengalirnya
buku-buku berbahasa Arab dan Mesir ke Sumatra Barat saja, pada tahun
1916 berharga fl. 10.000. banyak buku standard, seperti dari Al-Ghazali,
dijual dalam dua bahasa, Jawa – Arab, Melayu – Arab , Sunda – Arab dan
seterusnya. Penyebaran buku-buku Islam terbukti juga dari
terdapatnya kios-kios buku di banyak stasiun kereta api yang memperjual
belikan itu. Suratkabar merupakan saksi hidup tumbuhnya banyak
organisasi, baik yang berdasarkan agama, nasional, social maupun
ekonomi. Kegiatan penerbitan Islam terbukti juga berorientasi luas,
ternyata dari dari adanya iklan menawarkan majalah dalam bahasa Perancis
Echos de I’Islam (Paris) dan bahasa Inggris The Muslim Standard
(London). Mas Marco diketahui juga membuat risalah Pan Islamisme bahasa
Melajoe. Cara pengiklanan yang khas ditempuh oleh penerbit
Islam Mardi Kantaka di Surakarta, dengan menempatkan daftar buku di
belakang amplop untuk mengirimkan surat-surat, dimana terbukti juga
terdapatnya kepustakaan dalam bahasa asing.
Perdagangan
buku Islam terutama berpusat di Surabaya dan Batavia. Namun terdapat
juga di tempat ziarah seperti Gresik dan Demak, bahkan di kota kecil
seperti Blora dijajakan buku cetakan India dengan penjual dari Bombay.
Seorang pengamat juga melihat adanya buku-buku agama cetakan dari
Istambul, Beirut, Mekah, bahkan dari Kazan (Rusia) yang diperdagangkan
di pelbagai kota lain.
Menurut daftar yang
dibuat oleh B. Schrieke, penasehat pemerintah urusan Bumiputra, maka
dari 107 suratkabar dan majalah, yang terbit sekitar tahun 1920 corak
suratkabar/majalah digolongkan menjadi nasional, liberal,radikal dan
komunitis. Ada juga yang bercorak netral, politik dan perdagangan.
Judul-judulnya pun menarik perhatian, banyak yang memakai kata
“sinar”,”Jong”,”kebangoenan”,”baroe” dan sebagainya.
Dari
jumlah 16 buah diterbitkan di Weltevreden – Batavia, 10 buah
masing-masing di Semarang, Surabaya dan Medan. Dengan adanya surat kabar
Islam, yang beraneka ragam dan jumlah berada di tengah-tengah masa
depresi dan krisis umum di dalam dunia persuratkabaran, merupakan
pertanda bahwa Islam telah bangun.
Suatu usaha
untuk mengimbangi keadaan itu ialah usaha pemerintah Hindia Belanda,
untuk mengedarkan buku-buku netral (Golsdienstloos) sebanyak satu juta
buku setahunnya,.Adanya penerbitan itu menunjukan, bahwa di Indonesia
itu sedang terjadi suatu evolusi yang bergerak cepat.
Dalam
perjuangan mendatang untuk lebih banyak “cahaya” lebih banyak
kebebasan, untuk hidup lebih makmur, pers berada dimuka sebagai pusat
perhatian dan sebagai pelopor. Media pers yang membawakan suara
nasionalisme Indonesia ialah majalahnya para mahasiswa di Nederland,
yang melantingkan kata Indonesia dalam kata pengantar nomor pertama
Indonesia Merdeka (IM) pada tahun 1924.
Corak IM dengan keterangan-keterangannya merupakan aksi untuk mencapai tujuan PI, terutama untuk memperkuat cita-cita kesatuan Bangsa Indonesia. Majalah itu terbit dalam dua bahasa , bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Terbitan bahasa Indonesianya hanya
lima nomor, kemudian terenti. Redaksi dipegang oleh pimpinan PI para
pengarangnya tidak dicantumkan,karena setelah dirundingkan dengan
anggota pimpinan, maka karangan yang dimuat itu merupakan pendapat PI.
Dari berkas laporan pejabat pemerintah Belanda, setelah terjadi penggeledahan dan penyitaan dokumen-dokumen PI ternyata bahwa Indonesia Merdeka mencatat 280 langganan.
Penyebarannya
dilakukan secara rahasia dan sebagai penyebarnya ialah Sudjadi, yang
diangkat sebagai propagandis PI di Jakarta. Dengan segala cara ia
berhasil menyebarkan IM kepada para langganan dan penganut gagasan PI. Dari sistem kartu langganan yang disita dari arsip PI itu ternyata angka-angka seperti tersebut diatas, suatu data yang langka mengenai jumlah dan penyebaran langganan suatu majalah.
Yang
menyebabkan makin meluasnya paham PI sudah barang tentu ialah majalah
dan suratkabar yang dimiliki oleh pergerakan nasional. Demikianlah
meskipun PI secara resmi tidak mempunyai cabang di Indonesia,namun
melalui Sudjadi sebagai unsure “unsure kerja” di Indonesia dan bekas
anggota-anggota PI di beberapa kota, maka mata-rantai gagasan
nasionalisme Indonesia dan aksi-aksi untuk mencapai Indonesia Merdeka
terdapat pula di Indonesia.
Kelompok-kelompok
setempat bekas anggota PI dengan koordinasi komite pusat yang terdiri
dari Mr. Sartono, Iskaq, Sunario, Budiarto dan Sudjadi mempersiapkan
suatu kongres nasional. Kongres nasional itu merupakan persiapan kearah
terbentuknya sebuah partai kerakyatan, yang didasarkan atas azas-azas
nasionalistis yang murni, yang akan bernama Sarekat Rakyat Nasional
Indonesia.
Pemberontakan PKI 1926-27 dan
larangan kepada PKI sedikit menghambat persiapan pembentukan partai baru
itu, tetapi pada bulan April telah diadakan rapat-rapat dan pada
tanggal 4 Juli 1927 berdirilah PNI. Dari enam orang pendirinya, empat orang adalah bekas anggota Perhimpunan Indonesia.
Referensi : - Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, "Sejarah Nasional Indonesia", Balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar