Salah satu gerakan perjuangan kemerdekaan adalah penerbitan koran
pribumi di awal abad ke-20. R.M. Tirto Adhi Soerjo (TAS) diangkat
menjadi Pahlawan Nasional karena aktivitasnya sebagai pelopor pers
nasional pribumi pertama di tahun 1907, di Bandung. Anugerah ini
diusulkan oleh warga Jawa Barat.
R.M. Tirto Adhi Soerjo melakukan perjuangan melalui surat kabar yang
dipimpinnya, Soenda Berita, pers pertama yang terbit di Cianjur. Beliau
adalah pioner pers pribumi. Melalui surat kabar Medan Prijaji, pemikiran
beliau menjadi cikal bakal nasionalisme dengan memperkenalkan istilah
Anak Hindia. Beliau juga menyadarkan masyarakat Indonesia tentang
hakekat penjajahan yang sangat merugikan bangsa dan berusaha melakukan
perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan pemerintah kolonial.
Mengingat jasanya beliau dinyatakan sebagai Perintis Pers Indonesia
tahun 1973 oleh Dewan Pers RI. Atas jasa-jasanya itu pula, pemerintah RI
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang
Maha Putra Adipradana.TAHUN 2006 Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan (PPKK) Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (Lemlit
Unpad) mempelajari tiga calon pahlawan nasional dari Jawa Barat yaitu R.
Soepriadinata, R.M. Tirto Adhi Soerjo, dan K.H. Noer Ali. TAS pelopor
pers nasional. Dia mendirikan surat kabar Medan Priyayi pada 1 Januari
1907. Melalui surat kabar tersebut, dia berkiprah di Jabar hingga akhir
hayatnya. Bahkan makamnya pun berada di Bogor.
“TAS pelopor pers nasional. Dia mendirikan surat kabar Medan Priyayi
pada 1 Januari 1907. Melalui surat kabar tersebut, dia berkiprah di
Jabar hingga akhir hayatnya. Bahkan makamnya pun berada di Bogor.” [Nina H. Lubis]
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo
lahir di Blora tahun 1880. TAS yang tak menyelesaikan sekolahnya di
STOVIA Batavia pindah ke Bandung dan menikah. Di Bandung TAS menerbitkan
surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) dan
Putri Hindia (1908). Sebelum menerbitkan “Medan Prijaji”, Januari 1904
TAS mendirikan dulu badan hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij
en handel in schrijfbehoeften Medan Prijaji. Medan Prijaji beralamat di
jalan Naripan Bandung yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung
Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK). Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar
nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia),
dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan
wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Selain di bidang pers, TAS
juga aktif dalam pergerakan nasional, ia mendirikan Sarikat Dagang Islam di Jakarta yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam bersama H.O.S. Tjokroaminoto.
Alm. R.M. Tirto Adhi Soerjo (1875–1918)
Pada tahun 1909, TAS membongkar skandal yang dilakukan Aspiran
Kontrolir Purworejo, A. Simon. Delik pers pun terjadi, TAS dituduh
menghina pejabat Belanda, terkena Drukpersreglement 1856 (ditambah
Undang-undang pers tahun 1906). Meskipun TAS memiliki forum
privilegiatum (sebagai ningrat, keturunan Bupati Bojonegoro) ia dibuang
ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan. Pada pertengahan kedua tahun
1910, Medan Prijaji diubah menjadi harian ditambah edisi Mingguan, dan
dicetak di percetakan Nix yang beralamat di Jalan Naripan No 1 Bandung.
Inilah harian pertama yang benar-benar milik pribumi. Masa kejayaan
Medan Prijaji antara 1909-1911 dengan tiras sebanyak 2000 eksemplar.
Pemberitaan-pemberitaan harian Medan Prijaji sering dianggap
menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat itu. Di tahun 1912
Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap menghina Residen
Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R.
Adipati Djodjodiningrat (suami R.A. Kartini) menggantikan ayahnya. TAS
pun dijatuhi pembuangan ke pulau Bacan, wilayah Halmahera selama 6
bulan, namun baru diberangkatkan setahun kemudian karena masalah
perekonomian penerbitan Medan Prijaji dengan para krediturnya.
Sekembali dari Ambon, TAS tinggal di Hotel Medan Prijaji (ketika ia
sedang di Ambon namanya diubah menjadi Hotel Samirono oleh Goenawan).
Antara tahun 1914-1918, TAS sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada
tanggal 7 Desember 1918. Mula-mula ia dimakamkan di Mangga Dua Jakarta
kemudian dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973. Di nisannya tertulis,
Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia, Layaklah ia disebut
sebagai Bapak Pers Nasional.
Kisah perjuangan TAS diabadikan oleh Pramoedya Ananta Toer (PAT) selepas keluarnya dari pembuangan pulau Buru awal tahun 1980-an. Ditulis dengan nama Minke dalam buku Tetralogi Buru,
empat buku tebal yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah dan Rumah Kaca. Selain Tetralogi PAT pun menulis kekagumannya
atas TAS dalam buku Sang Pemula. Entah alasan pemerintah saat itu apa
sehingga karya Tetralogi PAT dilarang terbit dan beredar. Sejak reformasi bergulir buku-buku PAT banyak dicetak ulang, bahkan hendak diangkat ke film layar lebar.
Karya PAT tentang Minke sebagai Tirto Adhi Surjo ini sudah banyak
diterjemahkan di luar negeri, hingga 33 bahasa, diakui internasional di
berbagai negara sebagai sebuah karya sejarah yang apik. Selain berlatar
belakang sejarah yang tentunya lebih menarik sebagai referensi pelajaran
sejarah di sekolah, PAT menggambarkan manusia Indonesia dengan keadaan
feodal dan sistem kolonialnya. Tak hanya kronologi era Kebangkitan Nasional
Indonesia dipaparkan lebih membumi dengan bahasa yang sederhana, PAT
juga menggambarkan kisah cinta seorang manusia yang sederhana, tidak
muluk-muluk, saat Minke bertemu dengan Annelies, sang Bunga Akhir Abad.
Kabarnya Garin Nugroho akan menyutradai dan tokoh Annelies Melemma akan diperankan oleh Mariana Renata.
Trima kasih banyak Tia.. sudah menulis namaku dipostinganmu ini... (meski bukan Nina Sofiana Ishaq)
BalasHapus:P :)
Salam Nino