
Tauhid  adalah: Mengesakan Allah semata dalam beribadah dan tidak  menyekutukan-Nya. Dan hal ini merupakan ajaran semua Rasul  alaihimusshalatuwassalam. Bahkan tauhid merupakan pokok yang dibangun  diatasnya semua ajaran, maka jika pokok ini tidak ada, amal perbuatan  menjadi tidak bermanfaat dan gugur, karena tidak sah sebuah ibadah tanpa  tauhid. 
Macam-macam Tauhid
Tauhid terbagi tiga bagian: Tauhid Rububiyah, Tauhid Asma’ dan Sifat dan Tauhid Uluhiyah.
1. Tauhid Rububiyah:
Yaitu menyatakan bahwa tidak ada Tuhan Penguasa seluruh alam kecuali  Allah yang menciptakan dan memberi mereka rizki. Tauhid ini juga telah  diikrarkan oleh orang-orang musyrik pada masa dahulu. Mereka menyatakan  bahwa Allah semata yang Maha Pencipta, Penguasa, Pengatur, Yang  Menghidupkan,Yang Mematikan, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah ta’ala  berfirman:
  “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang  menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu  mereka akan menjawab,“Allah” maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan  (dari jalan yang benar)” (Q.S. Al Ankabut: 61)
Akan tetapi pernyataan dan persaksian mereka tidak membuat mereka masuk  Islam dan tidak membebaskan mereka dari api neraka serta tidak  melindungi harta dan darah mereka dari misi jihad islam, karena mereka  tidak mewujudkan tauhid Uluhiyah, bahkan sebaliknya mereka berbuat  syirik kepada Allah dalam beribadah kepada-Nya dengan memalingkan ibadah  mereka kepada selain Allah.
2. Tauhid Asma’ dan Sifat.
Yaitu: beriman bahwa Allah ta’ala memiliki zat yang tidak serupa dengan  berbagai zat yang ada, serta memiliki sifat yang tidak serupa dengan  berbagai sifat yang ada. Dan bahwa nama-nama-Nya menyatakan dengan jelas  akan sifat-Nya yang sempurna secara mutlak sebagaimana firman Allah  ta’ala:
  “Tidak ada sesuatupun yang meyerupainya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. As Syura: 11)
Begitu juga halnya (beriman kepada Asma’ dan Sifat Allah) berarti  menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dalam Kitab-Nya, atau  apa yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu `alaihi wa sallam  dengan penetapan yang layak sesuai kebesaran-Nya tanpa ada penyerupaan  dengan sesuatupun, tidak juga memisalkannya dan meniadakannya, tidak  merubahnya, tidak menafsirkannya dengan penafsiran yang lain dan tidak  menanyakan bagaimana hal-Nya. Kita tidak boleh berusaha baik dengan hati  kita, perkiraan kita, lisan kita untuk bertanya-tanya tentang bagaimana  sifat-sifat-Nya dan juga tidak boleh menyamakan-Nya dengan sifat-sifat  makhluk .
3. Tauhid Uluhiyah.
Tauhid Uluhiyah adalah tauhid ibadah, yaitu mengesakan Allah dalam  seluruh amalan ibadah yang Allah perintahkan, seperti: berdoa, khouf  (takut), raja’ (harap), tawakkal, raghbah (berkeinginan), rahbah  (takut), Khusyu’, Khasyah (takut disertai pengagungan), taubat, minta  pertolongan, menyembelih, nazar dan ibadah yang lainnya yang  diperintahkan-Nya. Dalilnya firman Allah ta’ala:
  “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka  janganlah kamu menyembah seseorangpun didalamnya di samping (menyembah)  Allah” (Q.S: Al Jin:18).
Manusia tidak boleh memalingkan sedikitpun ibadahnya kepada selain Allah  ta’ala, tidak kepada malaikat, kepada para Nabi dan tidak juga kepada  para wali yang shaleh dan tidak kepada siapapun makhluk yang ada. Karena  ibadah tidak sah kecuali dilakukan dengan ikhlas untuk  Allah, maka  siapa yang memalingkannya kepada selain Allah dia telah berbuat syirik  yang besar dan semua amalnya gugur.
Kesimpulannya adalah seseorang harus berlepas diri dari penghambaan  (ibadah) kepada selain Allah, menghadapkan hati sepenuhnya hanya untuk  beribadah kepada  Allah. Tidak cukup dalam tauhid sekedar pengakuan dan  ucapan syahadat saja jika tidak menghindar dari ajaran orang-orang  musyrik serta apa yang mereka lakukan seperti berdoa kepada selain Allah  misalnya kepada orang yang telah mati dan semacamnya, atau minta  syafaat kepada mereka (orang-orang mati) agar Allah menghilangkan  kesusahannya dan menyingkirkannya, dan meminta pertolongan kepada mereka  atau yang lainnya yang merupakan perbuatan syirik.
Wujud nyata Tauhid adalah: memahaminya dan berusaha untuk mengetahui  hakikatnya serta melaksanakan kewajibannya, baik dari sisi ilmu maupun  amalan, hakikatnya adalah mengarahkan ruhani dan hati kepada Allah baik  dalam hal mencintai, takut (khauf), taubat, tawakkal, berdoa, ikhlas,  mengagungkan-Nya, membesarkan-Nya dan beribadah kepada-Nya.  Kesimpulannya tidak ada dalam hati seorang hamba sesuatupun selain  Allah, dan tidak ada keinginan terhadap apa yang Allah tidak inginkan  dari perbuatan-perbuatan syirik, bid’ah, maksiat yang besar maupun  kecil, dan tidak ada kebencian terhadap apa yang Allah perintahkan.  Itulah hakikat tauhid dan hakikat Laa Ilaaha Illallah. 
 Makna Laa Ilaaha Illallah.
Maknanya adalah, tidak ada yang disembah di langit dan di bumi dengan  haq kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sesuatu yang  disembah dengan bathil banyak jumlahnya, tapi yang disembah dengan haq  hanya Allah saja. Allah ta’ala berfirman:
  “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah,  Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru  selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang  Maha Tinggi lagi Maha Besar” ( Q.S: Al Hajj: 62).
Kalimat Laa Ilaaha Illallah bukan berarti : “Tidak ada pencipta selain  Allah” sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang, karena  sesungguhnya orang-orang kafir Quraisy yang diutus kepada mereka  Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengakui bahwa Sang Pencipta  dan Pengatur alam ini adalah Allah ta’ala, akan tetapi mereka  mengingkari penghambaan (ibadah) seluruhnya milik Allah semata, tanpa  menyekutukan-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala: 
  “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja ?  Sesungguhnya ini benar-benar satu hal yang sangat mengherankan” (Q.S:  Shad:5).
Dipahami dari ayat ini bahwa semua ibadah yang ditujukan kepada selain  Allah adalah batal. Artinya bahwa ibadah semata-mata untuk Allah. Akan  tetapi mereka (kafir Quraisy) tidak menghendaki demikian, oleh karenanya  Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerangi mereka hingga  bersaksi bahwa tidak ada ilah yang disembah selain Allah serta  menunaikan hak-hak-Nya yaitu mengesa-kannya dalam beribadah kepada-Nya  semata.
Dengan pemahaman ini maka keliru apa yang diyakini oleh para penyembah  kuburan pada masa ini dan orang-orang semacam mereka yang menyatakan  bahwa makna Laa ilaaha illallah adalah persaksian bahwa Allah ada atau  bahwa Dia adalah Khaliq sang Pencipta yang mampu untuk menciptakan dan  yang semacamnya dan bahwa yang berkeyakinan seperti itu berarti dia  telah mewujudkan Tauhid yang sempurna meskipun dia melakukan berbagai  hal seperti beribadah kepada selain Allah, berdoa kepada orang mati atau  beribadah kepada orang mati dengan melakukan nazar atau thawaf  dikuburannya dan mengambil berkah dengan tanah kuburannya.
Orang-orang kafir Quraisy telah mengetahui sebelumnya bahwa Laa ilaaha  Illallah mengandung konsekwensi yaitu meninggalkan ibadah kepada selain  Allah dan  hanya mengesakan Allah dalam ibadah. Seandainya mereka  mengucapkan kalimat tersebut dan tetap menyembah berhala, maka  sesungguhnya hal itu merupakan perbuatan yang bertolak belakang dan  mereka memang telah memulainya dari sesuatu yang bertentangan. Sedangkan  para penyembah kuburan zaman sekarang tidak memulainya dari sesuatu  yang bertentangan, mereka mengatakan Laa ilaaha Illallah, kemudian  mereka membatalkannya dengan doa terhadap orang mati yang terdiri dari  para wali, orang-orang sholeh serta beribadah di kuburan mereka dengan  berbagai macam ibadah. Celakalah mereka sebagaimana celakanya Abu Lahab  dan Abu Jahal walaupun keduanya mengetahui Laa Ilaaha Illallah.
Banyak sekali hadits yang menerangkan bahwa makna Laa Ilaaha Illallah  adalah berlepas diri dari semua ibadah terhadap selain Allah baik dengan  meminta syafaat ataupun pertolongan, serta mengesakan Allah dalam  beribadah, itulah petunjuk dan agama yang haq yang karenanya Allah  mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Adapun orang yang  mengucapkan Laa Ilaaha Illallah tanpa memahami maknanya dan mengamalkan  kandungannya, atau pengakuan seseorang bahwa dia termasuk orang  bertauhid sedangkan dia tidak mengetahui tauhid itu sendiri bahkan justu  beribadah dengan ikhlas kepada selain Allah dalam bentuk doa, takut ,  menyembelih, nazar, minta pertolongan, tawakkal serta yang lainnya dari  berbagai bentuk ibadah maka semua itu adalah hal yang bertentangan  dengan tauhid bahkan selama seseorang melakukan yang seperti itu dia  berada dalam keadaan musyrik !!
Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya hati yang memahami Laa Ilaaha Illallah  dan membenarkannya serta ikhlas akan tertanam kuat sikap penghambaan  kepada Allah semata dengan penuh penghormatan, rasa takut, cinta,  pengharapan, pengagungan dan tawakkal yang semua itu memenuhi ruang  hatinya dan disingkirkannya penghambaan terhadap selain-Nya dari para  makhluk. Jika semua itu terwujud maka tidak akan ada lagi rasa cinta,  keinginan dan permintaan selain apa yang dikehendaki Allah serta apa  yang dicintai-Nya dan dituntut-Nya. Demikian juga akan tersingkir dari  hati semua keinginan nafsu syahwat dan bisikan-bisikan syaitan, maka  siapa yang mencintai sesuatu atau menta’atinya atau mencintai dan  membenci karenanya maka dia itu adalah tuhannya, dan siapa yang  mencintai dan membenci semata-mata karena Allah, ta’at dan memusuhi  karena Allah, maka Allah adalah tuhannya yang hakiki. Siapa yang  mencintai karena hawa nafsunya dan membenci juga karenanya, atau ta’at  dan memusuhi karena hawa nafsunya, maka hawa nafsu baginya adalah  tuhannya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
  “Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan?” (Q.S; Al Furqan: 43).
 Keutamaan Laa Ilaaha Illallah
Dalam kalimat (Laa Ilaaha Illallah) terhimpun banyak keutamaan, dan  faedah yang bermacam-macam. Akan tetapi keutamaan tersebut tidak akan  bermanfaat bagi yang mengucapkannya jika sekedar diucapkan saja. Dia  baru memberikan manfaat bagi orang yang mengucapkannya dengan keimanan  dan melakukan kandungan-kandungannya. Diantara keutamaan yang paling  utama adalah bahwa orang yang mengucapkannya dengan ikhlas semata-mata  karena mencari ridho-Nya maka Allah ta’ala haramkan baginya api neraka.  Sebagaimana sabda Rasulullah :
(( إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ)) (متفق عليه)
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi siapa yang mengatakan: Laa  Ilaaha Illallah semata-mata karena mencari ridho-Nya” (Muttafaq Alaih).
Dan banyak lagi hadits-hadits yang lain yang menyatakan bahwa Allah  mengharamkan orang-orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dari api  neraka. Akan tetapi ada syarat yang dijelaskan oleh hadits-hadits  tersebut.
Banyak orang yang mengucapkannya, namun disaat kematian dia  dikhawatirkan terkena fitnah sehingga dia terhalang dari kalimat  tersebut karena dosa-dosa yang selama ini selalu dilakukannya dan  dianggapnya remeh. Banyak juga orang yang mengucapkannya dengan dasar  ikut-ikutan atau rutinitas semata, sementara keimanan tidak meresap  kedalam hatinya. Orang-orang yang disebutkan di atas yang sering  mendapatkan fitnah saat kematiannya dan saat di kubur sebagaimana  terdapat dalam sebuah hadits “Saya mendengarkan manusia mengatakannya,  maka saya mengatakannya” (H.R. Ahmad dan Abu Daud).
Dengan demikian maka tidak ada kontradiksi antara hadits-hadits yang  menjelaskan tentang keutamaan ucapan Laa Ilaaha Illallah, karena jika  seseorang mengucapkannya dengan ikhlas dan penuh keyakinan maka dia  tidak mungkin berbuat dosa terus menerus, lantaran kesempurnaan  keikhlasan dan keyakinan menuntutnya untuk menjadikan Allah sebagai  sesuatu yang lebih dicintainya dari segala sesuatu, maka tidak ada lagi  dalam hatinya keinginan terhadap apa yang diharamkan Allah ta’ala dan  membenci apa yang Allah perintahkan. Hal seperti itu yang membuatnya  diharamkan dari api neraka meskipun dia melakukan dosa sebelumnya,  karena keimanan, taubat, keikhlasan, kecintaan dan keyakinannya membuat  dosa yang ada padanya terhapus bagaikan malam yang menghapus siang. 
 Rukun Laa Ilaaha Illallah.
Syahadat memiliki dua rukun :
1. Peniadaan (Nafy) dalam kalimat: “Laa Ilaaha”.
2. Penetapan (Itsbat) dalam kalimat: “Illallah”.
Maka “Laa Ilaaha” berarti meniadakan segala tuhan selain Allah, dan  “Illallah” berarti menetapkan bahwa sifat ketuhanan hanya milik Allah  semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.   
 Syarat-syarat Laa Ilaaha Illallah
Para ulama menyatakan bahwa ada tujuh syarat bagi kalimat Laa Ilaaha  Illallah. Kalimat tersebut tidak sah selama ketujuh syarat tersebut  tidak terhimpun dengan sempurna dalam diri seseorang, serta mengamalkan  segala apa yang terdapat didalamnya serta tidak melakukan sesuatu yang  bertentangan dengannya. Tujuan utama kalimat tauhid bukan sekedar  menghitung lafaz-lafaz dan menghafalnya, sebab betapa banyak orang yang  hafal kalimatnya akan tetapi ia bagaikan anak panah yang melesat (keluar  dari Islam) sehingga anda lihat dia banyak melakukan perbuatan yang  menyimpang.
Berikut ini syarat-syaratnya:
1. Berilmu (العلم).
Yang dimaksud adalah memiliki ilmu terhadap makna kalimat (Laa Ilaaha  Illallah) baik dalam hal nafy maupun itsbat dan segala amal yang  dituntut darinya. Jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah ta’ala  adalah semata-mata yang disembah dan bahwa penyembahan kepada selain-Nya  adalah bathil, kemudian dia mengamalkan sesuai dengan ilmunya tersebut.
Lawan dari ilmu adalah bodoh, karena dia tidak mengetahui wajibnya  mengesakan Allah dalam ibadah, bahkan dia meyakini bolehnya beribadah  kepada selain Allah disamping beribadah kepada-Nya, Allah ta’ala  berfirman:
 “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah” (QS. Muhammad: 19)
 “Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang  mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengetahui(nya)” ( QS. Az Zukhruf  :86)
Maksudnya adalah: orang-orang yang bersaksi dan hati mereka mengetahui apa yang diucapkan lisan mereka.
2. Yakin (اليقين).
Yaitu seseorang mengucapkan syahadat dengan penuh keyakinan sehingga  hatinya tenang, tanpa ada sedikitpun pengaruh keraguan yang disebarkan  oleh syetan-syetan jin dan manusia, bahkan dia mengucapkannya dengan  penuh keyakinan atas kandungan yang ada didalamnya. Siapa yang  mengucapkannya maka ia wajib meyakininya didalam hati dan mempercayai  kebenaran apa yang diucapkannya, yaitu: adanya hak ketuhanan yang  dimiliki Allah ta’ala dan tidak adanya sifat ketuhanan segala sesuatu  selain-Nya. Juga berkeyakinan bahwa ibadah dan penghambaan tidak boleh  ditujukan kepada selain Allah. Jika dia ragu terhadap syahadatnya atau  tidak mengakui bathilnya sifat ketuhanan selain Allah ta’ala, misalnya  dengan mengucapkan: “Saya meyakini akan ketuhanan Allah ta’ala akan  tetapi saya ragu akan bathilnya ketuhanan selain-Nya”, maka syahadatnya  batal dan tidak bermanfaat baginya. Allah ta’ala berfirman: 
 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang  beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu ”  (Q.S; Al Hujurat: 15).
3. Menerima (القبول)
Maksudnya adalah menerima semua ajaran yang terdapat dalam kalimat  tersebut dalam hati dan lisannya. Dia membenarkan dan beriman kepada  semua berita dan apa yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada  sedikitpun yang ditolaknya dan tidak berani memberikan penafsiran yang  keliru atau perubahan atas nash-nash yang ada, Allah ta’ala melarang hal  tersebut. sebagaimana Dia berfirman:
 “Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami” (QS. Al Baqarah: 136)
Lawan dari menerima adalah menolak. Ada sebagian orang yang mengetahui  makna syahadatain dan yakin akan kandungan yang ada didalamnya akan  tetapi dia menolaknya karena kesombongannya dan kedengkiannya. Allah  ta’ala berfirman:
 “Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi  orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah” (Q.S; Al An’am:  33)
Termasuk dikatakan menolak, jika seseorang menentang atau membenci  sebagian hukum-hukum Syari’at atau hudud (hukum pidana Islam). Allah  ta’ala berfirman:
 “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya” (Q.S; Al Baqarah: 208).
3. Tunduk (الانقياد)
Yang dimaksud adalah tunduk atas apa yang diajarkan dalam kalimat  Tauhid, yaitu dengan menyerahkan dan merendahkan diri serta tidak  membantah hukum-hukum Allah. Allah ta’ala berfirman:
 “Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya …” (Q.S; Az Zumar: 54).
Termasuk juga tunduk terhadap apa yang dibawa Rasulullah shallallahu  `alaihi wa sallam dengan diiringi sikap ridha dan mengamalkannya tanpa  bantahan serta tidak menambah atau mengurangi. Jika seseorang telah  mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah dan yakin serta menerimanya, akan  tetapi dia tidak tunduk dan menyerahkan diri dalam melaksanakan  kandungannya maka semua itu tidak berguna. Termasuk dikatakan tidak  tunduk juga adalah tidak menjadikan syariat Allah sebagai sumber hukum  dan menggantinya dengan undang-undang buatan manusia.
5. Jujur (الصـــدق)
Maksudnya  jujur dengan keimanannya dan aqidahnya, selama itu terwujud  maka dia dikatakan orang yang membenarkan terhadap kitab Allah ta’ala  dan sunnah Nabi-Nya.
Lawan dari jujur adalah dusta, jika seorang hamba berdusta dalam  keimanannya, maka dia tidak dianggap beriman bahkan dia dikatakan  munafik walaupun dia mengucapkan syahadat dengan lisannya, maka syahadat  tersebut tidak dapat menyelamatkannya.
Termasuk yang menggugurkan sahnya syahadat adalah mendustakan apa yang  dibawa Rasulullah atau mendustakan sebagian yang dibawa oleh beliau,  karena Allah ta’ala telah memerintahkan kita untuk ta’at kepada beliau  dan membenarkannya, dan mengaitkan ketaatan kepada beliau dengan  ketaatan kepada-Nya.
6. Ikhlas (الإخـــلاص)
Maksudnya adalah mensucikan setiap amal perbuatan dengan niat yang murni  dari kotoran-kotoran syirik, yang demikian itu terwujud dan tampak  dalam perkataan dan perbuatan yang semata-mata karena Allah ta’ala dan  karena mencari ridha-Nya. Tidak ada didalamnya kotoran riya’ dan sum`ah  (ingin dikenal), atau tujuan duniawi dan pribadi, atau juga melakukan  sesuatu karena kecintaannya terhadap seseorang atau golongannya atau  partainya dimana dia menyerahkan diri kepadanya tanpa petunjuk Allah  ta’ala.
Allah berfirman: 
 “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)” (Q.S; Az Zumar: 3)
 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan  memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus”  (Q.S; Al Bayyinah: 5).
Lawan dari ikhlas adalah Syirik dan riya’, yaitu: mencari keridhaan  selain Allah ta’ala. Jika seseorang telah kehilangan dasar  keikhlasannya, maka syahadatnya tidak berguna. Allah ta’ala berfirman:
 “Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami  jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”  (Q.S; Al Furqan:  23)
Maka dengan demikian, semua amalnya tidak ada manfaat baginya, karena dia telah kehilangan landasannya.
Allah ta’ala berfirman:
 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia  mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang  dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh  ia telah berbuat dosa yang besar” (An Nisa 48)
7. Cinta (المحـــبة)
Yaitu mencintai kalimat yang agung ini serta semua ajaran dan  konsekwensi yang terkandung didalamnya, maka dia mencintai Allah dan  Rasul-Nya dan mendahulukan kecintaan kepada keduanya atas semua  kecintaan kepada yang lain, serta melakukan semua syarat-syarat dan  konsekwensinya. Cinta terhadap Allah adalah rasa cinta yang diiringi  dengan rasa pengangungan dan rasa takut serta pengharapan.
Termasuk cinta kepada Allah adalah mendahulukan apa yang Allah cintai  atas apa yang dicintai oleh hawa nafsu dan segala tuntutannya, termasuk  juga konsekwensi mencintai kalimat tauhid adalah membenci apa yang Allah  benci, maka dirinya membenci orang-orang kafir serta memusuhi mereka.  Dia juga membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.
Termasuk tanda cinta adalah tunduk terhadap syariat Allah dan mengikuti  ajaran nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dalam setiap urusan.
Allah ta’ala berfirman:
 “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,  niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”, Allah Maha  Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S; Ali Imran: 30)
Lawan dari cinta adalah benci. Yaitu membenci kalimat ini dan semua  ajaran yang terkandung didalamnya atau mencinta sesuatu yang disembah  selain Allah bersama kecintaannya terhadap Allah. Allah ta’ala  berfirman:
 “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa  yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan  (pahala-pahala) amalan mereka” (Q.S; Muhammad: 9)
Termasuk yang menghilangkan cinta dengan kalimat tauhid adalah: membenci  Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan mencintai musuh-musuh  Allah serta membenci wali-wali Allah dari golongan orang beriman.
 MAKNA PERSAKSIAN (SYAHADAT) BAHWA MUHAMMAD ADALAH RASULULLAH 
 Maknanya adalah: Taat terhadap apa yang diperintahkannya dan  membenarkan apa yang diberitakannya serta menjauhi apa yang dilarang dan  diancamnya. Tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau  syariatkan. Setiap muslim harus mewujudkan syahadat ini, sehingga  dikatakan tidak sempurna syahadat seseorang terhadap kerasulannya  manakala dia sekedar mengucapkannya dengan lisan, namun meninggalkan  perintahnya dan melanggar larangannya serta taat kepada selainnya atau  beribadah kepada Allah tidak berdasarkan ajarannya. Rasulullah   bersabda:
((مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ))
“Siapa yang taat kepadaku maka dia telah taat kepada Allah dan siapa  yang durhaka kepadaku maka dia telah durhaka kepada Allah” (H.R.  Bukhari)
(( مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ))
“Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami yang tidak termasuk didalamnya maka dia tertolak” (Muttafaq alaih)
Termasuk wujud nyata dari syahadat ini adalah tidak adanya keyakinan  bahwa   Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memiliki hak ketuhanan  yang mengatur alam ini, atau tidak memiliki hak untuk disembah, akan  tetapi dia hanyalah seorang hamba yang tidak disembah dan seorang Rasul  yang tidak didustakan dan dirinya tidak memiliki kekuasaan atas dirinya  sendiri dan orang lain dalam mendatangkan manfaat dan mudharat kecuali  apa yang Allah kehendaki.
Allah ta’ala berfirman: 
 “Katakanlah (Hai Muhammad),“ Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan  bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang  dikehendaki Allah “  (Q.S; Al A’raf : 188).
 HAL-HAL YANG MEMBATALKAN KEISLAMAN
 1. Mengadakan persekutuan (syirik) dalam beribadah kepada Allah ta’ala (Q.S; An Nisa: 116)
Termasuk dalam hal ini, meminta pertolongan dan berdoa kepada  orang mati serta bernadzar dan menyembelih qurban untuk mereka.
2. Siapa yang menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara kepada  Allah, memohon kepada mereka syafaat, serta sikap berserah diri kepada  mereka, maka berdasarkan ijma’ dia telah kafir.
3. Siapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau menyangsikan  kekafiran mereka, bahkan membenarkan ajaran mereka, maka dia telah  kafir.
4. Berkeyakinan bahwa petunjuk selain yang datang dari Nabi Muhammad  shallallahu `alaihi wa sallam lebih sempurna dan lebih baik. Meyakini  ada suatu hukum atau undang-undang yang lebih baik dibandingkan syariat  Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, serta lebih mengutamakan hukum  taghut (buatan manusia) dibandingkan ketetapan Rasulullah shallallahu  `alaihi wa sallam.
5. Membenci sesuatu yang datangnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi  wa sallam, meskipun dia mengamalkannya.  (Q.S; Muhammad:  9).
6. Siapa yang mengolok-olok sebagian dari Din yang dibawa Rasulullah  shallallahu `alaihi wa sallam, misalnya; mengolok-olokan pahala atau  balasan yang akan diterima maka dia telah kafir. (Q.S; At-Taubah: 65-66)
7. Melakukan sihir, diantaranya “As-sharf” (mengubah perasaan seorang  laki-laki menjadi benci kepada istrinya) dan “Al Athaf” (Menjadikan  seseorang senang terhadap apa yang sebelumnya dia benci) atas bantuan  syaitan.
Siapa yang melakukan kegiatan sihir atau ridha dengannya maka dia kafir. (Q.S; Al Baqarah: 102)
8. Mengutamakan orang kafir serta memberikan pertolongan dan bantuan  kepada orang musyrik lebih dari pada pertolongan dan bantuan yang  diberikan kepada kaum muslimin. (Q.S; Al Maidah: 5)
9. Beranggapan bahwa manusia bisa leluasa keluar dari syariat Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. (Q.S; Ali Imran: 85)
10. Berpaling dari Dinullah, baik karena dia tidak mau mempelajarinya  atau karena tidak mau mengamalkannya. Hal ini berdasarkan firman Allah  ta’ala. (Q.S; As-Sajadah: 22).