Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi
1. Pendahuluan
Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri
atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada
tahun ini (2009), Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan jatuh pada
hari Jumat 27 Nopember 2009. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang
bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah
kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat?
Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dengan
melakukan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan
(mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat
Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun
Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa :
"Apabila
hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat Imam Asy
Syafi'i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk
kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang datang
dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy
Syafi'i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi
mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat
Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam
Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun
orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur sebab
mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut
'Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak
ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar."
Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,"Imam
Malik dan Abu Hanifah berpendapat,"Jika berkumpul hari raya dan Jumat,
maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya...."
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :
Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi / ahlul 'aaliyah),
yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban
shalat Jumatnya. Jadi jika mereka --yakni orang yang datang dari kampung
-- telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti
shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi'i. Ini pula pendapat Utsman dan
Umar bin Abdul Aziz.
Kedua, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan,
baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk
yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya
shalat hari raya.
Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi
orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi
mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.
Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama
gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada
lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat 'Atha`
bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan 'Ali.
2. Pendapat Yang Rajih
Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:
Hukum Pertama,
jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan
dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat
Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.
Hukum Ketiga,
jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih
untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur,
tidak boleh meninggalkan zhuhur.
Hukum Keempat, mereka yang pada pagi
harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk
menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan
shalat Jumat.
Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.
2.1. Keterangan Hukum Pertama
Mengenai
gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan
shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih,
antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata :
"Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian
beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat.
Kemudian Nabi berkata,'Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat),
hendaklah dia shalat." [Shallan nabiyyu shallallaahu 'alayhi wa
sallama al 'iida tsumma rakhkhasha fil jumu'ati tsumma qaala man syaa-a
an yushalliya falyushalli] (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).
Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW
bersabda : "Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya.
Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat
hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan
mengerjakan Jumat." [Qad ijtama'a fii yawmikum haadza 'iidaani, fa man syaa-a ajza-a-hu minal jumu'ati, wa innaa mujammi'uun]
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini
dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid,
yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini
shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).
Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat
Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya
shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin
Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda "tsumma rakhkhasha fi
al jumu'ati" (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat).
Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari
raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).
Menurut Syaikh
Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan untuk
meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur
(halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan
mengerjakan rukshshah itu.
Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi
rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya.
Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka
shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan
boleh pula tidak dikerjakan. Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan
sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas "man syaa-a an yushalliya falyushalli"
(barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat).
Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah
(ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat,
karena ada lafazh "man" sebagai syarat- adalah "barangsiapa yang tidak
berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu shalat Jumat."
Kesimpulannya,
orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban
atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat
dan boleh juga tidak.
Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi / ahlul 'aaliyah)
--yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat Jumat-- sedang
bagi penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) ----yang di tempat
mereka diselenggarakan shalat Jumat-- tetap wajib shalat Jumat ?
Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban
shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa
maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas
bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz "man" (barangsiapa/siapa saja)
yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk
kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat
dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang
mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh "man" dalam
hadits-hadits di atas berlaku secara umum.
2.2. Keterangan Hukum Kedua
Bagi
mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal),
menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara
azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih
utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan
keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.
Namun
dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat
daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua)
terdapat sabda Nabi "innaa mujammi'uun" (Dan sesungguhnya kami akan
mengerjakan Jumat). Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan
shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak,
akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat.
Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri
telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu
sifatnya sunnah, tidak wajib.
2.3. Keterangan Hukum Ketiga
Jika
orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat
Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur,
tidak boleh meninggalkannya.
Wajibnya shalat zhuhur itu,
dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya
menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup pengguguran
kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal
(al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah hukum pengganti (badal),
bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu shalat
Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara' kepada hukum
asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan
Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal,
selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya
hukum asal.
Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari
raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib
melaksanakan shalat zhuhur.
2.4. Keterangan Hukum Keempat
Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan
shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat.
Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata
lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka
yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan
shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya
tetap wajib hukumnya shalat Jumat.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua)
dimana Nabi SAW bersabda "fa man syaa-a, ajza-a-hu 'anil jumu'ati" (Maka
barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya
shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq
hadits. Mafhum mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat
hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.
Imam Ash Shan'ani dalam Subulus Salam ketika
memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : "Hadits
tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat
hari raya-- menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied,
tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied."
Jadi,
orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang
dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang
dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya.
Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, wajib atasnya shalat
Jumat.
3. Meninjau Pendapat Lain
3.1. Pendapat Imam Syafi'i
Pada
dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh
bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut
hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun
penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi)
yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di
tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak
mengerjakan shalat Jumat.
Sebenarnya Imam Syafi'i berpendapat seperti itu
karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban
shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga
beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi'i.
Menanggapi pendapat Imam Syafi'i tersebut, Imam Ash Shan'ani dalam
Subulus Salam berkata : "Asy Syafi'i dan segolongan ulama berpendapat
bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil
kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya
maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan
atsar-atsar (yang menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah
cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jumat,
sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash
Shan'ani) berkata,'Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu
Khuzaimah...maka hadits tersebut dapat menjadi takhsis
(pengecualian)..."
Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi'i
tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih,
sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan
kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash
yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari (QS Al Jumu'ah ayat 9),
baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan'ani menyatakan, bahwa
hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.
Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa
penolakan Imam Syafi'i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah
kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi'i terhadap
hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut --secara
mutlak-- tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam
penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian
muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Imam
Taqiyuddin An Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz I
berkata : "...(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya
karena seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan
hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh
menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada
kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para
fuqaha... "
Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam
ditolak oleh Imam Syafi'i, tidak berarti kita tidak boleh menggunakan
hadits tersebut sebagai dalil syar'i. Sebab faktanya ada ahli hadits
lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah,
sebagaimana penjelasan Imam Ash Shan'ani. Jadi, beristidlal dengan
hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang
didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar'i.
3.2. Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar),
maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi).
Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut : "Imam Malik
dan Abu Hanifah berkata, 'Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat
Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang
lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam masalah ini,
kecuali jika terdapat ketetapan syara', maka wajib merujuk kepadanya..."
Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah
juga tidak menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat
pada hari raya. Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada
hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban
shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam
Syafi'i. Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa
hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar'i yang
menerangkannya.
Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam
(yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang
shahih menurut Ad Daruquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut
dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib
kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).
Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum
setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu
menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan
statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat menurut
kami.
3.3. Pendapat 'Atha bin Abi Rabah
'Atha bin Abi
Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya,
maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun
pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat 'Ashar.
Imam Ash'ani menjelaskan bahwa pendapat 'Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :
Pertama,
berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan
Imam Abu Dawud, bahwasanya : "Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat)
telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr)
mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua
rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia
mengerjakan shalat Ashar." ['Iidaani ijtama'aa fii yawmin waahidin,
fajamma'ahumaa fashallahumaa rak'atayni bukratan lam yazid 'alayhaa
hattaa shallal 'ashra]
Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al
ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al
badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur,
otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.
Ketiga, yang
zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi
rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk
shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.
Demikianlah
alasan pendapat 'Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan'ani tidak menerima
pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah
shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat
Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak
shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat
zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan'ani,
shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat,
bukannya shalat zhuhur.
Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash
Shan'ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jumat adalah
hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al
badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum
asal, sedang shalat Jumat merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban
shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat. Shalat
zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra' Mi'raj, sedang kewajiban
shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka
yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah
penggantinya. Jadi jika shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah
kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur.
4. Kesimpulan
Dari
seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya
bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :
Pertama,
jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah
kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan
boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat
Jumat.
Kedua, jika orang yang telah
menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan
shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia
meninggalkan zhuhur.
Ketiga, adapun orang yang pada pagi
harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat.
Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh
pula dia melaksanakan shalat zhuhur.
Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar'i yang ada.
Wallahu a'lam.